Desakralisasi Ritual Tradisi

- Kamis, 18 Agustus 2022 | 16:31 WIB
Teguh Puji Harsono (dok)
Teguh Puji Harsono (dok)

AYOTEGAL.COM - Dalam beberapa hari kedepan kita akan meninggalkan bulan sura,bulan yang dulu oleh masyarakat tradisi dianggap sebagai bulan keramat, bulan yang pantang diisi dengan segala kegiatan yang bersifat pesta duniawi.

Berbagai ritual tradisi seperti ruwat bumi, sedekah laut, sedekah gunung, santunan anak yatim dll telah hampir purna dijalankan para pelaku tradisi di desa - desa, dari lereng gunung hingga tepi pantai.

Tentu kita semua berharap agar segala do'a kebaikan yang dilantunkan disetiap ritual tersebut dikabulkan oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi dan segala malapetaka yang terjadi bergiliran silih berganti segera diusaikan hingga kehidupan kembali ayem tentram , gemah ripah loh jinawi.

Baca Juga: Tingkatkan Kesejahteraan Pelaku Sektor Pertanian, bank bjb Raih Penghargaan Kementan RI

Meskipun demikian...rasanya kita patut prihatin jika melihat betapa hari ini tradisi suronan yang dulu sakral dan dilaksanakan sepenuh hati sebagai bagian dari upaya 'mengasah ketajaman budi dan membasuh malapetaka bumi' kini sudah mulai terlihat 'profan' dan hilang kesakralannya.

Tempat ritual yang dulu didatangi dengan kesadaran / niat untuk hening berkontemplasi membangun hubungan illahiah dengan Gustinya kini berubah menjadi panggung - panggung 'artis' dimana desakralisasi dipentaskan dan diRAYAkan atas nama PARIWISATA.

Tanpa sadar (?), legacy nilai - nilai kearifan leluhur yang dulu keramat, dirawat dan dijaga 'rapat - rapat' kini dipadamkan dalam iringan gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai anak cucunya tanpa ada sedikitpun protes atau perlawanan dari publik khususnya para pelaku tradisi itu sendiri.

Ironis memang... karena tiba - tiba budaya kapitalistik yang instan dan disorientasi mulai terlihat latah merambah dan mengkomoditaskan ritual tradisi yang sudah ratusan tahun diturun temurunkan dalam ruang sakralitas yang terjaga.

Sungguh hal ini berbeda dengan reaksi publik atas desakralisasi nama Muhammad dan Maria yang digunakan untuk promo Miras di cafe Holliwings beberapa bulan yang lalu.

Protes dan perlawanan atas 'penistaan' tersebut bergema dimana - mana bahkan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta selaku pejabat publik didesak untuk segera mencabut ijin dan menutup cafe Holliwings yang ada di Jakarta.

Lalu bagaimana dengan reaksi kita atas desakralisasi nama 'Joko Tingkir' dalam lagu koplo yang hingar bingar diputar berulang - ulang di berbagai media elektronik kita ?

Jaman sepertinya memang sudah jauh berubah, kemenangan faham seklulerisme yang dibawa para pegiat Aristotelian, Newtonian, Cartesian, dan Kantian, dalam menggusur segala hal yang bersifat sakral telah mengacak - acak logika tradisi atas relasi keseimbangan 'Ati - Bumi - Gusti' dan berdampak serius pada perilaku manusia hari ini.

Segala hal yang non-fisik, tak ilmiah dan tak terjangkau oleh perangkat indrawi dianggap tahayul dan tidak ada, akibatnya kita cenderung sulit untuk memahami betapa nun di "belakang" kehidupan kita ada pengendali tanah, air, api dan udara yang sesungguhnya itu semua adalah unsur dari tubuh kita sendiri.

Manusia modern hari ini gagap melakukan komunikasi dengan; ruang dan waktu bahkan dengan matahari, rembulan, angin, tanah, air, api, hewan, tumbuhan, dll hingga pada akhirnya kita tak bisa lagi memahami peran serta mereka dalam makro ekosistem kehidupan kita.

Akibatnya...Hari ini menjadi tidak mudah bagi kita untuk mencari dari mana sumber kerumitan hidup kita.

Halaman:

Editor: Dwi ariadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Desakralisasi Ritual Tradisi

Kamis, 18 Agustus 2022 | 16:31 WIB

Candra Mawa dari Desa Pangka

Jumat, 7 Januari 2022 | 16:53 WIB

KST Gagas Kongres Sastra Tegalan

Selasa, 3 September 2019 | 21:42 WIB
X