SLAWI, AYOTEGAL.COM -- Tepat di bulan maret ini setahun sudah Pandemi Covid 19 melanda Dunia tak terkecuali Indonesia.
Hampir seluruh sendi kehidupan baik kesehatan, ekonomi, politik, sosial budaya dan kemasyarakatannya mengalami goncangan dahsyat serta kelumpuhan yang dampaknya sangat terasa dan sangat signifikan sehingga mengakibatkan resesi dan krisis secara bersamaan dihampir setiap negara yg ada dimuka bumi ini.
Belum selesai dengan penangananya datang lagi musibah berupa Efek La Nina yg mengakibatkan air laut pasang dan gelombang tinggi serta angin puting beliung menerjang sebagian wilayah Indonesia.
Adapula bencana Musiman yg terjadi hampir setiap tahun seperti Banjir dan tanah longsor akibat hujan deras yang mengguyur yang bukan hanya akibat sistem drainase yg buruk tapi juga disebakan pengalihfungsian hutan secara masif dan terstruktur.
Hutan yang seharusnya menjadi resapan menjadi beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan Lahan galian Tambang.
Gunung bukit dan sawah yang merupakan jalur hijau dijadikan vila dan tempat permukiman serta pabrik. Belum lagi sampah dan limbah yang menggunung menyumbat drainase dan saluran pembuangan yang menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS).
Siapa yang salah?. Alam tidak bersalah. Yang salah ada di manusianya. Bencana terjadi karena kondisi alam yang sudah tidak proporsional.
Air mengalir lebih kencang dari gunung di saat hutan sudah tidak lagi ada pohon besar atau berubah menjadia pertanian. Jika melihat kesalahan terletak pada manusia, di mana peran pemerintah, para tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Agama harus hadir untuk dapat menyadarkan perilaku manusia yang sudah tidak bersahabat lagi dengan alam. Antstipasi sangat diperlukan.
Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan perilaku manusia yang serakah inilah yang menjadi sumber utama bencana yang melanda.
Keseimbangan alam yang seharusnya terjaga menjadi limbung dan goyah sehingga mengakibatkan rusaknya tata kosmos kehidupan di jagat raya yabg akhirnya memaksa alam ini menyeimbang diri dengan caranya sendiri.
Manusia sudah dibutakan dengan kehidupan dunia sehingga lupa dengan alam dan Penciptanya. Sementara yang mengaku beriman tertipu dengan keimananya sendiri sehingga mudah sekali menuduh dan menyalahkan orang lain.
Para Pemangku kebijakan dan tokoh agama cenderung hanya gugur kewajiban sehingga hanya sibuk memberikan perintah dan tausiyah serta mauidzah khasanah tapi lupa memberikan cinta kasih dan uswatun khasanah.
Kegiatan Keagamaan hanya sebatas seremonial dan sebatas mimbar miskin dialog dan kajian sehingga penerjemahan dan pemahamanya hanya sebatas kulit dan tenggorokan.