AYOTEGAL.COM -- Dalam sebuah perbincangan di malam hening di Pondok Pesantren (Ponpes) Nadwatul Ummah asuhan Rois Suriah PBNU K.H. Fuad Hasyim, Ki Enthus Susmono pernah ditanya sang kyai tentang aslinya berasal dari mana, Tegal atau Brebes?
Di malam Selasa Pon, malam Rabu Wage, 26 Februari 2002, Ki Enthus Susmono secara terbuka menjelaskan dirinya lahir dari hasil perkawinan ayah asal Kabupaten Tegal, dan ibunya dari Kabupaten Brebes.
Nama Enthus diperoleh dari laku spiritual ayahnya, seorang dalang kondang di kawasan pantai utara (Pantura), Sumaryo Dihardjo, ketika tirakat di daerah Sumur Kidang Banten. Setelah menempuh berbagai tahapan yang disarankan para kamituwa, Mbah Maryo (sapaan akrab Sumaryo Dihardjo) mendapat bisikan gaib. “Mengko mbokan anakke lair metune lanang, aran ngarepe supaya diarani Enthus. Moga-moga dadi dalang kondang sing nggulung jagad...”
Mendengar penuturan Ki Enthus, K.H. Fuad Hasyim terdiam, sembari menanggapi keluhan sang dalang dalam menghadapi persaingan antardalang di Jawa Timur. Kemudian, K.H. Fuad Hasyim mengijazahkan doa ilmu sirep yang berasal dari Wali Kriyan yang berbunyi:
"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma kendi wiring katumpang amider-mider anggulati endase. Endase lagi sun godog ana ing dangdang jadi, sun kayoni kendal serut, lah ayulah atine wong sing andeleng, rep sirep atine wong sajagat kabeh. Kucila mingmang, mang ming mang bingung...” K.H. Fuad Hasyim berpesan doa tersebut agar dibaca tiga kali.
Pembicaraan berlanjut ke tema lain, yakni sekitar Alquran ditinjau dari mukjizat sastranya. Ki Enthus pun mencatat berbagai pemikiran K.H. Fuad Hasyim yang juga Rois Suriah PBNU sampai pagi.
Saya memang menyaksikan etos kerja yang tinggi dan daya kejar dari sosok Ki Enthus dalam memburu ilmu kepada para sesepuh, tokoh ulama, serta siapapun yang memiliki kelebihan ilmu. Mereka semua selalu ia datangi untuk dijadikan guru.
Di Pantura, sejak 1996, Ki Enthus sering mengajak bersilaturahim ke K.H. Subhan Makmun, pengasuh Ponpes As-Salafiyah Desa Luwungragi, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, juga ke K.H. Muhammad Miftah Anwar pengasuh Ponpes Al-Anwar Desa Pakijangan, Bulakamba, Brebes, bersama seniornya, Eko Tunas, cerpenis dan penyair kelahiran Tegal yang saat ini tinggal di Semarang.
Barangkali penting untuk ditiru semangatnya oleh generasi muda, yakni Ki Enthus memiliki hobi mencatat ucapan-ucapan unggulan yang bisa mengundang kekaguman saat pentas.
Tidak jarang sebelum pentas Ki Enthus mengambil data monografi dinamis desa, cerita rakyat setempat; isu-isu aktual tentang problem masyarakat, sehingga penonton selalu berdecak kagum setiap kali menyaksikan pagelaran wayang goleknya.
Penulis pernah pada 2002 menjelang pentas “Nyambung Tali Paseduluran” dengan lakon "Sumilak Pedut Pringgondani" di Lesehan Roti Bakar Dian Gendut di selatan Masjid Agung Kota Tegal menyarankan agar dibuat wayang ‘Inul Ngebor’ yang langsung disahut: “Apik, sung!” Seketika itu juga Ki Enthus mengajak pulang sebentar menuju sanggarnya di Desa Bengle membangunkan tukang rancang golek.
“Tulung garapan lain berhenti dulu, kamu buat saja wayang golek ‘Inul’. Jika bisa jadi sesudah waktu salat Ashar, maka akan diberi bonus tiga ratus lima puluh ribu."
Dan betul, golek dimaksud bisa jadi tepat waktu. Maka pagelaran di Alun-alun Kabupaten Brebes saat itu menjadi viral dan mendapat liputan cukup luas dari media cetak maupun elektronik karena Ki Enthus sukses mementaskan wayang golek Inul yang fenomenal.
Dari kecerdasan semacam itulah, Ki Enthus mendapat julukan "Dalang Edan dari Pantura". Bahkan, rekan-rekan seniman menyebut Ki Enthus saat menjadi Bupati Tegal sebagai “Dalang Sing Nyambi Dadi Bupati”.