AYOTEGAL.COM - Matahari mulai surut ke barat ketika Bagong yang sedang asyik duduk menyendiri sambil menikmati teh wangi-nya di sebuah Pojok Warung di Pinggiran Pedukuhan Pring Apus.
Sambil memandang sekeliling ruangan yang cukup luas tapi hanya diisi beberapa pengunjung saja, dia menghembuskan nafas dalam dalam seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
Teringat olehnya kejadian mengerikan di Padang Kurusetra tatkala Prabu Salya Senopati Kurawa mengeluarkan kesaktian pamungkasnya yang bernama Candra Birawa berupa jutaan makhluk kecil tak kasat mata yang mampu membelah dan menggandakan dirinya meluluhlantakkan pertahanan dan berhasil memangsa puluhan ribu pasukan Pandawa, sehingga menimbulkan keresahan kecemasan dan ketakutan seluruh Negara Amarta.
Tidak ada satupun senopati Amarta termasuk Prabu Kresna dan bala tentaranya yang terkenal sakti mampu memukul mundur dan mengalahkan atau sekedar meredam kedahsyatan Candra Birawa milik Prabu Salya karena semakin panik dan takut maka makhluk kecil tak kasat mata itu semakin kuat dan tak terkalahkan.
Hanya Manusia yang berjiwa tenang dan ikhlas yang bernama Prabu Yudhistira-lah yang mampu mengalahkan Candra Birawa milik Prabu Salya.
Candra Birawa tidak akan mampu menyerang dan memangsa orang yang selalu menjaga kebersihan jiwa dan raga serta mempunyai jiwanya tenang dan hatinya ikhlas menerima Takdir Sang Maha Kuasa.
Dan Seperti de Javu Bagi Bagong kepanikan dan keresahan serta ketakutan ini terjadi lagi.
Hampir Setahun lebih memang Keadaan Sepi seperti ini telah menghantui dan membikin resah serta membuat panik dan ketakutan penduduk Pring Apus dikarenakan sebuah Penyakit yg berasal dari makhluk tak kasat mata yang telah mewabah dan menjadi pandemi.
Kepanikan dan ketakutan pun terjadi dimana-mana yang justru memperburuk dan memperparah situasi dan kondisi yang terjadi begitu pikir bagong.
Jam malam diberlakukan, pertemuan dibatasi, sekolah diliburkan, pabrik dan tempat perdagangan banyak yang ditutup dan dihentikan operasionalnya lebih awal serta banyak karyawan bekerja dari rumah atau bahkan ada yg sampai dirumahkan dan ini menimbulkan ketakutan dan kepanikan baik rakyatnya maupun pengambil kebijakannya.
Dan yang lebih mengenaskan adalah tradisi dan budaya yang merupakan identitas bangsa berupa Sedekah Bumi Sedekah Laut yang biasanya menampilkan pertunjukan kesenian dam mengundang banyak orang untuk menyaksikan ditiadakan.
Bahkan, yang biasa dilakukan masyarakatnya seperti Slametan pendurenan sampai kepada Sanja atau Nangga dibatasi dan diawasi.
Tragis memang, sebuah keadaan yang memang mau tidak mau harus dijalani dan diterima dengan lapang dada demi memutus rantai penyebaran penyakitnya yang sudah mamakan ribuan korban jiwa meninggal dunia agar tidak tambah parah.
Miris memang dan menjadi tanda tanya besar karena sesungguhnya tradisi dan kebudayaan selain menjadi identitas juga bisa menjadi solusi dari bencana yang sedang terjadi selain upaya pengendalian dan pengobatan berupa pembatasan dan vaksinasi sebagai elemen dasarnya.